KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB
Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan Bangsa
Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah
pemerintahan, imarah (keemiratan), agama dan kepercayaan di kalangan
Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk memahami kondisi yang
tengah bergejolak saat kemunculan Islam.
Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:
Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki independensi dan berdiri sendiri
Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan
hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka
memiliki independensi. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka
mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.
Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja Yaman, raja-raja
kawasan Syam, Ghassan dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di
jazirah Arab tidak memiliki mahkota.
Raja-raja di Yaman
Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah kaum Saba'. Mereka bisa
diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh abad Sebelum
Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada
tahun sebelas SM.
Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat diperkirakan sebagai berikut :
Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada periode ini dinasti mereka
dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka dijuluki
sebagai "Mukrib Saba'", dengan ibukotanya Sharwah. Puing-puing
peninggalan mereka dapat ditemui sekitar jarak 50 km ke arah barat laut
dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km arah timur kota Shan'a' yang
dikenal dengan sebutan Kharibah.
Pada periode merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal
dengan nama bendungan Ma'rib, yang memiliki peran tersendiri dalam
sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini
meliputi daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab.
Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode ini dinasti mereka
dikenal dengan dinasti Saba', dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib"
alias hanya dikenal dengan raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib
sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah. Puing-puing kota ini dapat
ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.
Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada periode ini dinasti mereka
dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, sebab kabilah Himyar telah
memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan kota Raidan sebagai
ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal kemudian dengan
nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit
yang memutar dekat Yarim.
Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh, serta mengalami
kerugian besar dalam perdagangan yang mereka lakukan. Diantara
penyebabnya adalah beberapa factor ; pertama, dikuasainya kawasan utara
Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan laut
setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria
dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar
masing-masing kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan
berpencarnya keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke
negeri-negei yang jauh.
Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman ; Pada periode ini
dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II dan kondisi yang
mereka alami penuh dengan kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan,
beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya perang keluarga yang
mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu
mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka
pernah renggut. Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil
memasuki kota 'Adn serta atas bantuan mereka, untuk pertama kalinya
orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun 340 M.
Hal itu dapat mereka lakukan berkat persaingan yang terjadi antara dua
kabilah; Hamadan dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun
378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi
kemudian bendungan Ma'rib jebol hingga mengakibatkan banjir besar
seperti yang disebutkan oleh Al-Qur'an dengan istilah Sailul 'Arim pada
tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa besar yang berkesudahan dengan
lenyapnya peradaban dan bercerai berainya suku bangsa mereka.
Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya
menyerang orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa
mereka meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia
membuat parit-parit besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu mereka
dilemparkan ke dalam api tersebut hidup-hidup, sebagaimana yang
diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian ini membakar
dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas
daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando
imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang
sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka
sehingga bergabunglah sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka.
Mereka untuk kedua kalinya berhasil menduduki negeri Yaman dibawah
komando Aryath pada tahun 525 M. Dia menjadi penguasa di sana atas
penunjukan dari raja Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh Abrahah
bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan
selanjutnya dia berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja
Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan
Ka'bah. Dalam sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan
penunggang gajah (ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a',
dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya yang kedua-duanya ketika
menjadi penguasa lebih otoriter dan sadis dari orangtuanya.
Setelah peristiwa "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta bantuan
kepada orang-orang Persi untuk menghadang serangan pasukan Habasyah dan
kerjasama ini berhasil sehingga mereka akhirnya dapat mengusir
orang-orang Habasyah dari negeri Yaman. Mereka memperoleh kemerdekaan
pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang bernama Ma'di Yakrib
bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka angkat menjadi raja
mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih mempertahankan sejumlah
orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam
perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya, maka pada suatu
hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti
raja dari keluarga besar Dzi Yazin. Setelah itu Kisra mengangkat
penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan menjadikan Yaman
sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal
itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh
Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini
berakhirlah kekuasaan kekisraan Persia atas negeri Yaman *.
* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat Tarikh" , hal. 77, 83,
124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133
hingga akhir buku ini; "Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal. 101-151 ;
dalam menentukan tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi perbedaaan yang
amat signifikan antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian
penulis mengomentari tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman
Allah : "AlQuran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".
Raja-raja di Hirah
Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih menjadi konfederasi kekisraan
Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang dapat
mempersatukan kembali Bangsa Persia. Maka selama kekuasaannya, tak
seorangpun yang dapat menandingi dan mengalahkannya, hingga muncul
Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu mengalahkan "Dara
I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka. Akibatnya negeri
mereka terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah raja-raja
baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas
wilayah-wilayah masing-masing hingga tahun 230 M. Pada era kekuasaan
raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang Qahthan berpindah dan kemudian
menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka kemudian berpapasan dengan
orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga berhijrah dan membanjiri
pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di wilayah teluk dari
sungai Eufrat .
Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan untuk kedua kalinya pada
era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dialah yang
berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa Bangsa Arab yang
bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini merupakan sebab
mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya penduduk Hirah
dan Anbar kepadanya.
Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah
dan seluruh penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari
keturunan Rabi'ah dan Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai
Bangsa Arab secara langsung dan mencegah mereka untuk menyerang
kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka
(Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam
membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga sewaktu-waktu
bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang
amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan
yang terdiri dari Bangsa Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh
raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan
Iraq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan Persia
untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang
membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268
M.
Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan
menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Dia adalah
raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur bin Ardasyir dan
kekuasaan dinasti Lakhmi terus berlanjut atas kedua wilayah tersebut
hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada tahun 448-531
M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan gaya
hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan
kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah,
yaitu al-Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk
memilih faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun
al-Mundzir menolak ajakan itu dengan penuh kesatria, sehingga Qubbadz
mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar
al-Kindi yang merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.
Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M) yang sangat
membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan
banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali al-Munzir sebagai
penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr
akan tetapi dia memilih bersembunyi ke pemukiman kabilah Kalb hingga
meninggal di sana.
Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us
Sama', hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah orang yang
memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah hasil
rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya mengirim utusan kepada
an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, an-Nu'man
menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan
keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang
langsung menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia.
Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan
memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar
dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya namun
Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang
melawan raja. Tak berapa lama tibalah para komandan batalyon berikut
prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas
tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu
pertempuran yang amat dahsyat di dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan
pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih
satu suku dengan Hani' sementara hal ini bagi Persia merupakan
kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini merupakan yang pertama
kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang mengatakan
bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan bulan setelah
bertahtanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.
Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa
Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama tujuh belas tahun
(614-631 M). Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang
oleh keluarga Lakhm. Diantaranya adalah al-Munzir bin an-Nu'man yang
dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya tidak lebih dari delapan
bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin dibawah
komando Panglima Khalid bin al-Walid.
Raja-raja di Syam
Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka
suku-suku Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan Syam dan menetap
disana. Mereka terdiri dari Bani Salih bin Halwan yang diantara anak
keturunannya adalah Banu Dhaj'am bin Salih dan lebih dikenal kemudian
dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh Bangsa Romawi
sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab daratan
dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia. Banyak
diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung
selama bertahun-tahun. Raja dari kalangan mereka yang paling terkenal
adalah Ziyad bin al-Habulah. Periode kekuasaan mereka diperkirakan
berlangsung dari permulaan abad 2 M hingga berakhirnya yaitu setelah
kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat mengalahkan
adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan suku
Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja
atas Bangsa Arab di Syam dengan pusat pemerintahan mereka di kota
Hauran. Dalam hal ini, kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa
Romawi disana terus berlangsung hingga pecahnya perang "Yarmuk" pada
tahun 13 H. Tercatat, bahwa raja terakhir mereka Jabalah bin al-Ayham
telah memeluk Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin
al-Khaththab radhiallahu 'anhu.
Emirat di Hijaz
Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan
Ka'bah sepanjang hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun.
Sepeninggal beliau, kedua putra beliau yaitu; Nabit kemudian Qaidar
secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang mengatakan
bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian baru Nabit. Sepeninggal
keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin
'Amru al-Jurhumi **.
** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu pernah disinggung dalam kisah Nabi Isma'il 'alaihissalam.
Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke tangan suku Jurhum dan terus
berlanjut dalam waktu yang lama. Kedua putra Nabi Ismail menempati
kedudukan yang terhormat di hati mereka lantaran jasa ayahanda keduanya
dalam membangun Baitullah, padahal mereka tidak memiliki fungsi apapun
dalam pemerintahan.
Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan perihal anak cucu Nabi Isma'il
masih redup tak tersentuh hingga gaung suku Jurhum pun akhirnya semakin
melemah menjelang munculnya Bukhtunshar. Dipihak lain, peran politik
suku 'Adnan mulai bersinar di Mekkah pada masa itu yang indikasinya
adalah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai pemimpin Bangsa Arab tatkala
berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di Zat 'irq, sementara
tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam peristiwa tersebut.
Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya serangan kedua oleh
Bukhtunshar pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya, seorang karib
Yarmayah, Nabi dari Bani Israil mengajak Ma'ad untuk pergi menuju Hiran,
sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi setelah tekanan Bukhtunshar mulai
mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya disana, dia tidak
menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam bin Jalhamah,
lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak
laki-laki bernama Nizar.
Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk setelah itu, dan mereka
mengalami kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan mereka menganiaya para
pendatang dan menghalalkan harta yang dimiliki oleh administrasi Ka'bah.
Tindakan ini menimbulkan kemarahan orang-orang dari Bani 'Adnan
sehingga membuat mereka mempertimbangkan kembali sikap terhadap mereka
sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azh-Zhahran dan melihat
keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku Jurhum,
dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan keturunan
Bani 'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka
lantas memerangi orang-orang Jurhum, akibatnya mereka diusir dari
Mekkah. Dengan begitu, dia berhasil mengusai pemerintahan Mekkah pada
pertengahan abad II M.
Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar Mekkah, mereka
menyumbat sumur Zamzam dan menghilangkan letaknya serta mengubur
didalamnya beberapa benda. Ibnu Ishaq berkata : " 'Amru bin al-Harits
bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa pintalan Ka'bah dan Hajar
Aswad lalu mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian dia dan
orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun
betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan
kota Mekkah dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana. Untuk
mengenang hal itu, 'Amru merangkai sebuah sya'ir :
Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah
Sungguh, kamilah dulu penghuninya
Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu, kami dibinasakan
Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi berlangsung sekitar dua puluh
abad sebelum Masehi. Dengan demikian masa keberadaan Jurhum di Mekkah
berkisar sekitar dua puluh satu abad sedangkan masa kekuasaan mereka
adalah selama dua puluh abad. Khuza'ah menangani sendiri urusan
administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr, kecuali terhadap
kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga spesifikasi :
Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari 'Arafah ke Muzdalifah,
dan membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari Nafar (kepulangan
dari melakukan haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh Bani al-Ghauts
bin Murrah, dari keturunan Ilyas bin Mudhar. Mereka ini dijuluki dengan
sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan tersebut adalah : bahwa
orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari Nafar hingga
salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya terlebih dulu,
kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi ritual tersebut
dan mereka ingin melakukan nafar/pulang dari Mina, kaum "Shûfah"
mengambil posisi disamping kedua sisi (jumrah) 'Aqabah, dan ketika itu,
tidak boleh seorang pun lewat kecuali setelah mereka, kemudian bila
mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat. Tatkala kaum
"Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah, tradisi ini dilanjutkan
oleh Bani Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.
Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada pagi hari Nahr (hari
penyembelihan hewan qurban) menuju Mina ; urusan ini diserahkan kepada
Bani 'Udwan.
Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena larangan berperang
didalamnya-penj); urusan ini ditangani oleh Bani Tamim dari keturunan
Bani Kinanah.
Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada
periode ini kaum 'Adnan menyebar di kawasan Najd, pinggiran 'Iraq dan
Bahrain. Sedangkan keturunan Quraisy ; mereka hidup sebagai Hallul (suku
yang suka turun gunung) dan Shirm (yang turun gunung guna mencari air
bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota Mekkah dan menempati
rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka, Bani Kinanah.
Namun begitu, mereka tidak memiliki wewenang apa pun baik dalam
pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin
Kilab.
Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa bapaknya meninggal dunia
saat dia masih dalam momongan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi
dengan seorang laki-laki dari Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah bin Haram, lalu
ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran Kota Syam. Ketika Qushai
beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu diperintah
oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah lalu dia meminang putri Hulail,
Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika
Hulail meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang
berakhir dengan kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan
kota Mekkah dan Ka'bah.
Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan sebab terjadinya perang tersebut :
Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta melimpah, pangkatnya
semakin tinggi dan bersamaan dengan itu Hulail telah tiada, dia
menganggap dirinya lah yang paling berhak atas urusan Ka'bah dan kota
Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr sebab suku Quraisy adalah pemuka
dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia membicarakan hal ini
dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya mengusir
Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik
oleh mereka.
Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah, berwasiat kepada Qushai agar mengurusi Ka'bah dan Mekkah.
Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada putrinya, Hubba dan
mengangkat Abu Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya lantas kemudian dia
yang mengurusi Ka'bah tersebut mewakili Hubba. Tatkala Hulail meninggal,
Qushai berhasil menipunya dan membeli kewenangannya atas Ka'bah
tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta yang berkisar antara
tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan transaksi
jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas
penguasaannya terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai
mengumpulkan sejumlah orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan
mengusir mereka dari kota Mekkah, maka mereka menyambut hal itu.
Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal dunia dan kaum Shûfah
menjalani aktivitas mereka tersebut, maka Qushai tampil bersama
orang-orang Quraisy dan Kinanah di dekat 'Aqabah sembari berseru: " Kami
lebih berhak daripada kalian ! ". Karena pelecehan ini, mereka lantas
memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan mereka dan merampas semua
kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr mengambil sikap tidak
menyerang setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang malah lebih dahulu
mengambil inisiatif penyerangan dan sepakat untuk memerangi mereka. Maka
bertemulah kedua kekuatan tersebut dan terjadilah peperangan yang amat
dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut justru menjadi mangsa yang empuk
baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai dan
bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr. Ya'mur
memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota
Mekkah daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah
yang ditumpahkan oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri
sedangkan setiap nyawa yang melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr
harus dibayar dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa Qushai
harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah. Maka dari sejak itu,
Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah). Kekuasaan
Qushai atas penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan
abad V Masehi yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai
sekaligus suku Quraisy memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah
serta pelaksana ritual keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi
oleh orang-orang Arab dari seluruh Jazirah.
Di antara langkah yang diambil oleh Qushai adalah memindahkan kaumnya
dari rumah-rumah mereka ke Mekkah dan memberikan mereka lahan yang
dibagi menjadi empat bidang, lantas menempatkan setiap suku dari Quraisy
ke lahan yang telah ditentukan bagi mereka serta menetapkan jabatan
sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya yaitu suku Nasa-ah, Ali
Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat sudah selayaknya
dia tidak merubahnya.
Qushai banyak meninggalkan peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya
adalah didirikannya Darun Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah
(Masjidil Haram), dan menjadikan pintunya mengarah ke masjid. Darun
Nadwah merupakan tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy yang didalamnya
dibahas hal-hal yang sangat strategis bagi mereka. Oleh karena itu, ia
mendapatkan tempat tersendiri dihati mereka karena dapat mencetak kata
sepakat diantara mereka dan menyelesaikan sengketa secara baik.
Diantara wewenang Qushai dalam mengelola pemerintahannya adalah sebagai berikut :
Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam
Darun Nadwah ini mereka berembuk tentang masalah-masalah yang sangat
strategis disamping sebagai tempat mengawinkan anak-anak perempuan
mereka.
Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa dipegang oleh orang lain selainnya termasuk anak-anaknya dan harus berada di Darun Nadwah.
Qiyadah (wewenang memberikan izin perjalanan) ; Kafilah dagang atau lainnya tidak akan bisa keluar dari Mekkah kecuali dengan seizinnya atau anak-anaknya.
Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu Ka'bah tidak boleh dibuka kecuali olehnya begitu juga dalam seluruh hal yang terkait dengan pelayanannya.
Siqayah (wewenang menangani masalah air bagi jemaah haji) ;
mereka mengisi penuh galon-galon air yang disisipkan didekatnya buah
kurma dan zabib (sejenis anggur kering). Dengan bagitu jemaah haji yang
datang ke Mekkah bisa meminumnya.
Rifadah (wewenang menyediakan makanan);
mereka menyediakan makanan khusus buat tamu-tamu mereka (jemaah haji).
Qushai mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada kaum Quraisy yang
dikeluarkan pada setiap musim haji dan hal tersebut kemudian
dipergunakan untuk membeli persediaan makanan buat jemaah haji,
khususnya bagi mereka yang tidak memiliki bekal yang cukup.
Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang Qushai, sedangkan anaknya
'Abdu Manaf juga otomatis telah memiliki kharisma dan kepemimpinan di
masa hidupnya, dan hal itu diikuti juga oleh adiknya 'Abdud Dar maka
berkatalah Qushai kepadanya : " aku akan menghadapkanmu dengan kaum kita
meskipun sebenarnya mereka telah menghormatimu". Kemudian Qushai
berwasiat kepadanya agar dia memperhatikan wewenangnya dalam mengemban
mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya wewenang atas Darun
Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk orang yang
tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah terlanjur
diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa hidup
dan setelah matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya.
Tatkala Qushai meninggal dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan
wasiatnya dan tidak tampak perseteruan diantara mereka, akan tetapi
ketika 'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing keras dengan
anak-anak paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka) dalam
memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah
menjadi dua kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara
mereka, untunglah hal itu mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya,
wewenang atas siqayah dan rifadah diserahkan kepada anak-anak 'Abdu
Manaf sedangkan Darun Nadwah, panji dan hijabah diserahkan kepada
ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak 'Abdu Manaf kemudian memilih jalan undian
untuk menentukan siapa diantara mereka yang memiliki kewenangan atas
siqayah dan rifadah. Undian itu akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu
Manaf sehingga dialah yang berhak atas pengelolaan keduanya selama
hidupnya. Dan ketika dia meninggal dunia, wewenang tersebut dipegang
oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu Manaf yang diteruskan kemudian
oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf, kakek Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus dilanjutkan
oleh keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu kewenangannya
berada ditangan al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam riwayat lain,
dikatakan bahwa Qushai sendirilah yang membagi-bagikan wewenang atas
urusan-urusan tersebut diantara anak-anaknya untuk kemudian setelah dia
meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.
Selain itu suku Quraisy juga mempunyai kewenangan yang lain yang mereka
bagi-bagi diantara mereka, yaitu masing-masing boleh membentuk
negara-negara kecil, bahkan bila boleh diungkapkan dengan ungkapan yang
pas saat ini adalah semacam semi negara demokrasi. Instansi-instansi
yang ada, begitu juga dengan bentuk pemerintahannya hampir menyerupai
bentuk pemerintahan yang ada sekarang yaitu sistim parlemen dan
majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya :
Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah ketika terjadi sumpah, dan urusan ini diserahkan kepada suku Jumah.
Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu diperuntukkan dalam tata cara
penyerahan qurban/sesajian dan nazar-nazar kepada berhala-berhala
mereka, begitu juga dalam memecahkan sengketa-sengketa dan perkerabatan,
dan urusan ini diserahkan kepada Bani Sahm.
Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.
Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus diyat (denda bagi tindak
kriminal) dan gharamat (denda pelanggaran perdata), dan urusan ini
diserahkan kepada Bani Tayyim.
Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini diserahkan kepada Bani Umayyah.
Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang kuda. Hal ini diserahkan kepada Bani Makhzum.
As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan kepada Bani 'Ady ***.
*** Lihat; "Tarikh ardhil Quran", II/104, 105, 106 . Riwayat yang
masyhur adalah bahwa yang membawa panji adalah Bani 'Abdid Dar, sedang
kepemimpinan berada ditangan Bani Umayyah.
Kekuasaan di seluruh negeri Arab
Di bagian muka telah kami singgung tentang kepindahan kabilah-kabilah
Qahthan dan 'Adnan, begitu juga dengan kondisi negeri-negeri Arab yang
terpecah-pecah diantara mereka sendiri; Kabilah-kabilah yang berdekatan
dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di Hirah, dan suku yang tinggal di
pedalaman Syam tunduk terhadap raja Ghassan. Hanya saja ketundukan
mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis) bukan secara riil di
lapangan. Sedangkan mereka yang berada di daerah-daerah pedalaman dalam
jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak.
Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut memiliki para pemuka yang
mereka angkat sebagai pemimpin kabilah, begitu juga kabilah ibarat
pemerintah mini yang landasan berpijaknya adalah kesatuan ras dan
kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga secara bersama tanah
air dan membendung serangan lawan.
Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah pengikutnya tak ubahnya
seperti posisi para raja. Jadi, setiap kabilah selalu tunduk kepada
pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi damai ataupun perang dan tidak
ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam memimpin dan memberikan
pendapat bak seorang diktator yang kuat sehingga bila ada sebagian yang
marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan ketika
itu tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya,
karena persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara
sesama keturunan satu paman sendiri kadang membuat mereka sedikit
bermuka dua alias over acting dihadapan orang banyak. Hal itu tampak
dalam prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah
lembut, menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka
lakukan semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi
para penyair yang merangkap penyambung lidah kabilah pada masa itu.
Disamping itu, mereka lakukan juga, agar derajat mereka lebih tinggi
dari para pesaingnya.
Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak istimewa sehingga mereka
bisa mengambil bagian dari harta rampasan tersebut ; baik mendapat
bagian mirba', shaffi, nasyithah atau fudhul . Dalam menyifati tindakan
ini, seorang penyair bersenandung :
Bagimu bagian mirba', shaffi, nasyithah, dan fudhul
Dalam kekuasaanmu terhadap kami
Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat harta rampasan. Ash-Shaffi
adalah bagian yang diambil untuk dirinya sendiri. An-Nasyithah adalah
sesuatu yang didapat oleh pasukan di jalan sebelum sampai tujuan.
Sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari harta rampasan yang tidak
dapat dibagikan kepada individu-individu para pejuang seperti keledai,
kuda dan lain-lain.
Kondisi Politik
Setelah.kami jelaskan tentang para penguasa di negeri Arab, maka akan
kami jelaskan sedikit gambaran tentang kondisi politik yang mereka
alami. Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan negeri asing,
kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah positif. Mereka
dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para penguasa
atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing, memiliki
seluruh kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka semua
wajib membayar upeti. Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa
rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat
dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana
untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan,
kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri
tenggelam dalam kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman
menimpa mereka, tak seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu,
bahkan mereka diam tak bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka
macam siksaan . Hukum kala itu benar-benar bertangan besi, sedangkan
hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilah-kabilah yang berdampingan
dengan kawasan ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan
tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai
penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai penduduk Syam.
Kondisi kabilah-kabilah dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar
berantakan dan tercerai berai, masing-masing lebih memilih untuk
berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari mereka
berdesah :
Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku
Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat menyokong kemerdekaan
mereka, atau seorang penengah tempat dimana mereka merujuk dan mengadu
dikala ditimpa kesusahan.
Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata seluruh orang-orang Arab
tertuju kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari
mereka. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan.
Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara
kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang sebenarnya dan
kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang terjadi
antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili
kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan
hal-hal yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah
yang mengurusi kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke
Baitullah/Ka'bah, begitu juga ia masih menjalankan syari'at Nabi
Ibrahim. Pemerintahannya juga, sebagaimana kami singgung sebelumnya,
memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk yang menyerupai sistim
parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tak mampu memikul
tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka menyerang orang-orang Habasyah
dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar